![]() |
Seorang mama Papua memanen ubi jalar : Petatas (sumber foto : inakoran.com) |
Diskusi menarik yang difasilitasi oleh Bentara Papua secara online melalui konten BENTARA BERTUTUR dengan topik “Kesadaran bersama kembali ke alam untuk pulih dari Pandemi Covid-19”, menghadirkan salah satu narasumber dari Universitas Papua yang merupakan dosen sekaligus sebagai Dekan Fakultas Sastra dan Budaya.
Dampak pandemi Covid-19 yang terus meluas hari ini, juga dirasakan oleh salah satu putra terbaik Papua yang dalam kesehariannya selain mengajar, juga sebagai staf ahli Dirjen Kebudayaan. Hal ini diungkapkannya ketika dampak dari kebijakan pemerintah yang mulai membatasi aktivitas masyarakat. Peraturan pemerintah berdampak pada hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Aspek ekonomi dan ketahanan pangan merupakan dampak besar yang dirasakan oleh pembina mahasiswa di asrama Jayapura ini.
Beraktivitas dari rumah (social and physical distancing), mengakibatkan pendapatan tambahannya selain sebagai dosen pun hilang. Inilah alasan mengapa dirinya harus kembali ke alam, memulai bercocok tanam, sebagai upaya mengantisipasi keberadaan dan keberlangsungan hidup (sustainability of life) atau survive (bartahan) dalam hidup.
Dalam upaya yang dilakukannya, tidak hanya sendiri. Sebagai makhluk sosial yang hidup saling membutuhkan dan harus bekerja sama, ia juga merangkul para mahasiswa asal Jayapura yang merupakan anak binaan dilingkungannya berada. Mereka memanfaatkan halaman atau pekarangan yang masih luas disekitar Asjap singkatan dari asrama Jayapura, untuk sayuran, ubi-ubian seperti kasbi, keladi dan petatas. Dengan demikian, dapat menekan pengeluaran pangan, sehingga pendapatan utama bisa difokuskan pada pengeluaran lainnya.
Selain melihat dampak negatif dari pandemi Covid-19, “hal positif yang patut disyukuri oleh kita adalah seperti ada sebuah kesadaran, kita semua bisa kembali kepada asal kita : back to basic, back to nature being the Papuan as a people who have the land. Jadi orang Papua yang punya tanah itu dia harus bersyukur, karena hidup kalau tidak punya tanah itu, kita seperti orang yang miskin didunia, karena modal utama itu adalah tanah, tandas Andreas Deda”.
Hal menarik lain disampaikan, ia berharap kedepan ada suatu perubahan untuk bisa mengubah pola pikir masyarakat. Bukan hanya menanam pada masa pandemi, tetapi bagaimana menambah pengetahuan untuk mempertahankan nilai-nilai budaya orang Papua. Bercocok tanam merupakan tradisi yang harus dipertahankan untuk menjaga lingkungan kita tetap lestari. Mengutip pernyataan dari Ernest Heikel katanya : “alam itu adalah rumah kita, rumah pertama manusia, manusia hidup di alam”. Deda melanjutkan bahwa kita harus kembali kerumah itu, untuk menemukan bahwa rumah telah menyediakan segala sesuatu untuk kita hidup.
Harapan dari Dekan Fakultas Sastra dan Budaya UNIPA, diskusi online ini bisa menjadi kontribusi positif, selain kepada individu, masyarakat dan lingkungan kita. Alam sudah menyediakan tapi bagaimana merangsang masyarakat untuk tidak malas, tetapi lebih produktif dalam mengelolah apa yang sudah disediakan oleh alam.
Diskusi online ini berlangsung menggunakan aplikasi zoom yang disiarkan langsung di channel youtube Bentara Papua dengan jumlah partisipan 14 orang. (Rissa)
Comments
Post a Comment